Rabu, 23 Juni 2010

aku berkata, dan (kemudian) bersyukur




Ada apa dengan kemarin??
Semua teriak2 tak jelas menggerutu di sepanjang selasar. Suara yg sama juga terdengar dr gazebo. Muka2 memerah membumbui suasana yg semakin gerah. Tak lah aku bergelinjang di depan mereka., biar mereka sendiri yg memutuskan, mau di bawa kemana semester depan.

Hari ini penuh perisai, kekuatan ku pun tak se-biasa-mudahnya menembus. Banyak yg mungkin harus ku eja ulang, dan bahwa karena semua ini nyata, maka aku hanya tinggal berdoa. semoga tak bersiasat dengan pembahasan yg sama, seperti hari ini dan semester ini.

Seorang sahabat mengingatkan kalau "hanya ikhtiar lewat belajar itu sudah banyak yg melakoninya”. Sedikit Tanya dan entah mengapa aku mulai tertarik dengan pernyataannya. Dia menyambung, “rumput kecil yg dulu pernah kau basuh, sekarang kering, dan akan segera mati jika kau tak menyentuhnya kembali.” Benar juga, ada beberapa kebiasaan yg dulu selalu tak pernah nihil. Sekarang tak tau entah merantau kemana. Subhanallah sebuah pengingat yg datang dr seorang sahabat.

Malam ini menyambung beberapa rentetan scenario naskah Tuhan. Kembali dan lagi Tuhan memanjakanku dengan nikmat yg aku sendiri tak tahu harus mengucap apa untuk mensyukurinya. Alhamdulillah dan Alhamdulillah mungkin tak bisa mewakilinya.

Senyap dini hari semakin melelapkan suasana, dan diluar sepengetahuan beberapa semut ribut diluaran, ah itu urusan mereka. Sedari tadi mataku masih terjaga tak menentu akan terpejam kapan, terus dan terus nafas ini mengaksarakan pemikiran liarku. Aku hanya meng-amini saja ketika harus menelusur malam tanpa bayangmu, ya seketika aku teringat senyum simpul yang sering terekam dalam scenario otak lemahku. Bangga kadang, tapi tak selalu.

Hari ini akan ku tutup dengan celotehan tajam pemikir kecil dari pesisir utara, ah itu kana kan aku, sergahku. Begini, dunia ini untuk hari ini dan beberapa hari kedepan masih memihakku, tapi tak tau kapan keberpihakan ini akan selalu setia. Singkatnya, selama jalan ini masih pantas dilalui dengan tenang maka aku akan mencoba menelusur dengan akal dan hatiku. Menilik kondisi ini aku teringat kata-kata sang alkemis bahwa “pertanda selalu ada disetiap perjalanan, dan hanya legenda pribadimu yang akan tahu dimana pertanda-pertanda itu terletak” Mungkin di beberapa aksara tulisan ini membuat pembaca sedikit mengkerutkan dahi dan mulai berfikir akan esensi serta makna dari celoteh ini. 23 Juni 2010 ku tutup dengan harapan bahwa akan ada sesuatu yang bias meng-istiqomahkan aku dengan kondisi yang seperti ini, saat-saat Tuhan memanjakanku.


jogja, puncak malam, 23 juni 2010
aku, penghitung masa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar